Penulis: Nur Alifah - daungroup media
Kesehatan jemaah haji Indonesia kembali menjadi sorotan pada musim haji 2025. Pemerintah Arab Saudi mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap tingginya jumlah jemaah Indonesia yang wafat sebelum puncak ibadah haji berlangsung. Hal ini menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki sistem istithaah kesehatan dan layanan medis selama di Tanah Suci. Dalam respons cepat, Menteri Kesehatan Arab Saudi memberikan izin operasional kembali kepada Klinik Haji Indonesia dengan beberapa catatan penting. Kabar ini membawa harapan baru sekaligus tanggung jawab besar bagi Indonesia untuk lebih serius dalam pelayanan haji, terutama dalam hal kesehatan lansia.
Fakta Wafatnya Jemaah Sebelum Puncak Haji
Data resmi Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) mencatat hingga 1 Juni 2025 pukul 19.00 WAS, terdapat 115 jemaah haji Indonesia yang meninggal dunia. Dari jumlah itu, lebih dari setengahnya—yakni 55,7%—adalah lansia berusia 65 tahun ke atas. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan internasional, terutama dari pemerintah Arab Saudi yang menyayangkan kondisi tersebut.
Penyebab utama kematian antara lain kelelahan, komplikasi penyakit kronis, serta kurangnya penanganan medis yang tepat waktu. Hal ini diperparah oleh minimnya tenaga kesehatan Indonesia yang bertugas, serta kebijakan pembatasan dokter dalam melakukan observasi atau perawatan di klinik Indonesia sebelumnya.
"Kematian jemaah sebelum puncak haji bukan hanya tragedi, tetapi juga sinyal bagi kita semua untuk memperbaiki sistem pelayanan," ujar Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam konferensi pers.
Rapat Diplomatik RI-Arab Saudi
Sebagai respons atas kekhawatiran yang muncul, Menteri Agama Nasaruddin Umar yang juga menjabat Ketua Amirul Hajj menggelar pertemuan strategis dengan Menteri Kesehatan Arab Saudi, Fahad bin Abdurrahman Al-Jalajel. Dalam rapat yang berlangsung pada 1 Juni 2025, pihak Arab Saudi mempertanyakan banyak aspek dari pelayanan kesehatan Indonesia.
Isu utama yang diangkat adalah jumlah tenaga medis yang dikirim, sistem seleksi kesehatan (istithaah), dan kendala bahasa antara jemaah dan petugas kesehatan di Arab Saudi. Dalam pertemuan tersebut, hadir pula Kepala BPOM Taruna Ikar yang mendampingi delegasi Indonesia.
"Kami tidak ingin jemaah kami menahan rasa sakit karena ketakutan atau hambatan komunikasi," ujar Menag di Makkah kepada Media Center Haji.
Masalah Bahasa dan Kepercayaan Jemaah
Salah satu hambatan krusial dalam pelayanan kesehatan jemaah haji Indonesia adalah kendala bahasa. Banyak jemaah lansia tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Arab, bahkan bahasa Inggris. Ironisnya, sebagian besar juga kesulitan memahami Bahasa Indonesia formal, sehingga membutuhkan pendekatan dengan bahasa daerah.
Situasi ini menyebabkan sebagian besar jemaah enggan mencari pertolongan medis. Mereka lebih memilih menahan rasa sakit daripada harus menghadapi rumah sakit asing yang menurut mereka terasa "asing" dan menakutkan.
"Mereka merasa lebih nyaman dirawat oleh dokter Indonesia yang mereka kenal dan percaya," tambah Nasaruddin.
Kebijakan Baru: Klinik Haji Indonesia Beroperasi Kembali
Atas dasar urgensi tersebut, pemerintah Arab Saudi akhirnya memberikan izin kepada Klinik Haji Indonesia untuk kembali beroperasi secara penuh di wilayah Makkah dan Madinah. Dokter-dokter Indonesia kini diperbolehkan melakukan observasi, pemeriksaan, dan perawatan langsung terhadap pasien di lokasi.
Namun demikian, aturan tetap diberlakukan secara ketat. Dalam kasus kegawatan, pasien tetap harus dirujuk ke fasilitas kesehatan milik Arab Saudi.
Gambar ilustrasi Dokter Indonesia merawat jemaah lansia di klinik Makkah Daungroup media mekkah
Kebijakan ini disambut positif oleh masyarakat dan dinilai sebagai bentuk pengakuan atas profesionalitas tenaga medis Indonesia. Namun, kerja sama ini disertai catatan penting agar ke depan pelayanan dapat lebih disiplin dan terorganisasi.