Penulis: Rizky Aditya – daungroup media
![]() |
Gambar ilustrasi rumah subsidi daungroup media |
Kabar soal rencana pemerintah mengecilkan ukuran rumah subsidi kembali mencuat dan menuai polemik di tengah masyarakat. Bocoran draf regulasi yang menyebutkan pengurangan ukuran luas rumah tapak dan bangunan memicu kekhawatiran tentang turunnya kualitas hidup bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Namun, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah memberikan klarifikasi bahwa hingga saat ini, belum ada keputusan final terkait perubahan tersebut. Hal ini menjadi penegasan penting di tengah simpang siur informasi publik.
Dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang bocor ke publik, tercantum bahwa:
-
Luas tanah minimum rumah tapak diusulkan menjadi 25 m² (dari sebelumnya 60 m²)
-
Luas bangunan paling kecil diatur menjadi 18 m², paling besar 36 m²
Perubahan ini tentu mengundang reaksi keras, mengingat angka tersebut jauh lebih kecil dari ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Klarifikasi Pemerintah: Belum Ada Keputusan Final
Dalam pernyataan resminya, Wamen PKP Fahri Hamzah menegaskan:
"Sebetulnya itu belum diputuskan. Arah kebijakan kita justru mempertimbangkan peningkatan ukuran."
Pernyataan ini menjadi penyeimbang narasi publik, bahwa pemerintah belum menyetujui pengurangan ukuran rumah subsidi secara resmi.
Penyesuaian Ukuran Berdasarkan Standar Rumah Layak
Standar kelayakan rumah menurut SDGs adalah 7,2 m² per orang. Dengan demikian, rumah dengan ukuran 18 m² hanya layak dihuni 2–3 orang, yang tidak ideal untuk keluarga Indonesia.
“Yang benar adalah justru ukurannya dibesarkan. Dari ukuran yang sekarang 36—40 meter persegi, paling tidak menjadi 40 meter persegi,” tegas Fahri.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Dampaknya
SDGs menjadi rujukan utama dalam perumusan kebijakan perumahan nasional. Pemerintah ingin memastikan bahwa:
-
Rumah subsidi tetap layak huni
-
Tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup
-
Masyarakat tetap mendapat akses terhadap hunian sehat dan aman
Potensi Perubahan Arah ke Hunian Vertikal
Pemerintah tengah mempertimbangkan opsi hunian vertikal seperti rumah susun atau flat, mengingat:
-
Harga tanah semakin mahal
-
Kebutuhan pangan dan swasembada lahan meningkat
-
Urbanisasi kian padat
“Orientasi kita adalah membangun rumah vertikal dengan ukuran sesuai standar rumah layak menurut PBB,” ujar Fahri.
Tanggapan Masyarakat dan Pengamat Properti
Berbagai tanggapan muncul dari publik dan kalangan ahli:
-
Netizen menyindir rumah subsidi makin kecil bak "kandang ayam"
-
Pengamat properti menilai pemerintah harus transparan dalam menyusun kebijakan
-
Developer khawatir akan penurunan minat masyarakat bila rumah terlalu kecil
Dampak terhadap Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
MBR adalah target utama rumah subsidi. Bila ukurannya terlalu kecil:
-
Keluarga tidak nyaman tinggal dalam ruang sempit
-
Potensi dampak sosial meningkat (stress, kesehatan mental)
-
Kesulitan dalam mendesain ruang multi-fungsi
Perbandingan Kebijakan Rumah Subsidi di Negara Lain
Beberapa negara membandingkan kebijakan subsidi sebagai berikut:
-
Malaysia: Program PR1MA menyediakan rumah minimal 600 sqft (sekitar 55 m²)
-
Vietnam: Fokus ke rumah susun bersubsidi dengan harga dan ukuran wajar
-
India: PMAY (Pradhan Mantri Awas Yojana) memberi insentif pembangunan rumah minimum 30 m²
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu berhati-hati dalam menentukan ukuran ideal yang layak.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kebijakan rumah subsidi menyangkut masa depan banyak keluarga di Indonesia. Meski wacana pengurangan ukuran telah beredar, pemerintah belum mengesahkan keputusan tersebut. Justru, ada peluang standar rumah subsidi ditingkatkan.
📌 Rekomendasi:
-
Pemerintah melibatkan publik dalam diskusi kebijakan
-
Pengembang wajib mengikuti standar rumah layak SDGs
-
Media harus memberitakan informasi akurat tanpa menimbulkan panik