Penulis : Ahmad wiyjaya | daungroup media | 12 Juni 2025
![]() |
Bank Dunia Revisi, Jumlah Penduduk Miskin RI Tembus 194 Juta Daungroup media |
Apa Sebenarnya yang Terjadi?
Apakah benar lebih dari separuh rakyat Indonesia kini tergolong miskin? Inilah pertanyaan besar yang muncul setelah Bank Dunia merilis laporan terbarunya. Laporan itu memuat perhitungan ulang garis kemiskinan global yang kini membuat 68,2% penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Jumlah itu tidak main-main—sekitar 194 juta jiwa dari total penduduk 285 juta.
Namun, mengapa angka ini jauh berbeda dari data Badan Pusat Statistik (BPS)? Apakah artinya Indonesia benar-benar makin miskin, atau hanya perubahan sudut pandang?
Mengenal Metodologi Baru Bank Dunia
Apa Itu PPP 2021?
Per Juni 2025, Bank Dunia resmi memperbarui garis kemiskinan global berdasarkan data terbaru Purchasing Power Parity (PPP) 2021.
-
Dulu, PPP 2017 digunakan sebagai acuan.
-
Kini, PPP 2021 menyesuaikan nilai uang terhadap inflasi dan daya beli terkini.
-
Garis kemiskinan internasional yang awalnya US$2,15 per orang per hari, kini menjadi US$3,00 per hari
Negara Berpenghasilan Menengah Jadi Fokus Baru
Bukan hanya garis dasar kemiskinan, tapi negara berpendapatan menengah—seperti Indonesia—diukur pada standar yang lebih tinggi:
-
US$6,85 → menjadi US$8,30 per orang per hari.
Dampaknya pada Data Indonesia
Dari 60% Jadi 68,2%
Dengan revisi itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak secara statistik:
-
Sebelumnya: 60,3% penduduk (PPP 2017) atau sekitar 171 juta orang.
-
Sekarang: 68,2% penduduk (PPP 2021), yaitu 194 juta orang.
Angka ini bukan berarti terjadi lonjakan kemiskinan baru secara nyata, melainkan hasil dari penghitungan baru.
Apakah BPS Salah?
Tidak. BPS menggunakan standar nasional dengan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN)—berbeda dengan PPP global.
Data BPS (Survei Sosial Ekonomi Nasional 2024):
-
8,57% penduduk Indonesia tergolong miskin.
-
Itu sekitar 24 juta orang, jauh dari angka versi Bank Dunia.
Jadi, keduanya benar, hanya berbeda metode dan tujuan. BPS fokus pada kebutuhan dasar minimum secara lokal, sementara Bank Dunia menghitung berdasarkan standar global.
Kenapa Perubahan Ini Penting?
-
Memberi perbandingan antarnegara yang lebih adil.
-
Memberi alarm awal bagi negara berkembang.
-
Mendorong evaluasi ulang kebijakan sosial dan bantuan.
Bayangkan...
Bayangkan seseorang di daerah rural Indonesia hidup dengan Rp30.000 per hari. Menurut standar lokal, mungkin cukup. Tapi menurut PPP global, itu hanya sekitar US$2/hari, yang tergolong kemiskinan ekstrem.
Perdebatan Publik: Apakah Kita Benar-Benar Miskin?
Reaksi masyarakat bervariasi. Sebagian menganggap data ini mencemaskan, sebagian lain menilai tidak relevan.
Yang perlu diingat:
-
Data ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk refleksi dan perbandingan global.
-
Pemerintah tetap menggunakan data BPS untuk penyaluran bansos dan kebijakan domestik.
Tinjauan Daungroup Media: Apa Solusi Nyatanya?
1. Jangan Hanya Andalkan Statistik
Statistik itu penting, tapi pengalaman di lapangan lebih penting.
-
Kemiskinan bukan sekadar angka, tapi soal akses ke pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak.
-
Apakah 194 juta orang benar-benar kelaparan? Tidak semuanya. Tapi banyak yang belum mencapai standar kesejahteraan global.
2. Perkuat Perlindungan Sosial
Jika angka kemiskinan meningkat di atas kertas, pemerintah perlu:
-
Evaluasi ulang program PKH, BPNT, BLT, dan sejenisnya.
-
Gunakan data global sebagai referensi untuk menambah target bantuan.
3. Peran Swasta dan Masyarakat Sipil
Pengurangan kemiskinan tak bisa hanya mengandalkan negara.
-
UMKM, yayasan sosial, BUMN, hingga individu bisa mengambil peran.
-
Pendidikan, literasi keuangan, dan pelatihan kerja bisa jadi kunci.
Yuk bagikan pendapat kamu di kolom komentar atau sebarkan artikel ini ke media sosial.
🔗 Sumber utama dan referensi lengkap ada di: Daungroup Media